​Sumatera yang Terluka : Sebuah Refleksi Geografis atas Tragedi Hidrometeorologi

Oleh: Dr. Joyce Christian Kumaat, S.Pi., M.Sc.
Pengajar pada Program Studi Geografi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Manado (Unima)

ANGKA 708 itu bukan sekadar statistik. Di balik deretan angka korban jiwa yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Selasa (2/12) sore, terdapat 708 cerita yang terhenti paksa, 708 keluarga yang kehilangan tumpuan, dan ribuan memori yang tertimbun lumpur di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana hidrometeorologi yang meluluhlantakkan punggung Bukit Barisan di awal Desember 2025 ini adalah sebuah “tamparan ekologis” yang keras. Sebagai akademisi yang mengamati fenomena kebumian, saya melihat tragedi ini bukan semata-mata “amuk Tuhan” atau anomali cuaca akibat Siklon Tropis Senyar, melainkan sebuah akumulasi kegagalan kita dalam membaca dan menghormati tata ruang. Melalui tinjauan terhadap laporan lapangan dan narasi pilu para penyintas yang berseliweran di media sosial maupun laporan cetak, kita menemukan benang merah yang mengerikan: alam tidak lagi memiliki rem untuk menahan laju air.

Narasi “Galodo” dan Hilangnya Daya Sangga
Kesaksian para korban di Kabupaten Agam dan Tanah Datar, Sumatera Barat, serta di pedalaman Aceh Utara, memiliki kemiripan pola yang menakutkan. Banyak penyintas melukiskan suara gemuruh “seperti suara pesawat tempur” atau “kereta api yang lewat di sebelah rumah” beberapa detik sebelum air bah datang. Dalam perspektif geografi fisik, suara gemuruh ini adalah indikator fatal dari debris flow atau aliran bahan rombakan. Yang menerjang permukiman warga bukanlah air sungai yang meluap perlahan, melainkan adonan lumpur pekat yang membawa serta batu-batu raksasa (boulders) dan batang kayu utuh yang tercabut dari akarnya.

Ini mengonfirmasi satu fakta pahit: hulu kita sedang sakit parah. Fenomena hanyutnya material kayu dan batu besar menandakan telah terjadi longsoran-longsoran kecil di wilayah hulu (upstream) yang sempat membendung aliran sungai (bendung alam), sebelum akhirnya jebol karena tak kuasa menahan volume hujan ekstrem. Di sinilah letak persoalannya. Hutan di sepanjang Bukit Barisan, yang seharusnya berfungsi sebagai “spons raksasa” untuk menyerap (infiltrasi) air hujan, telah kehilangan fungsinya. Ketika tutupan lahan berubah—entah oleh pembalakan liar, alih fungsi menjadi lahan pertanian semusim, atau pertambangan—koefisien aliran permukaan (run-off) melonjak drastis. Hujan yang turun tidak lagi meresap ke dalam akifer tanah, melainkan meluncur deras di permukaan, menggerus tanah pucuk, dan menghantam apa saja yang ada di hilir.

Jebakan di Zona Merah
Membaca peta sebaran korban, hati kita teriris melihat fakta bahwa mayoritas fatalitas terjadi di wilayah yang secara geomorfologis adalah zona merah. Di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, banyak permukiman yang tersapu bersih berada di kipas aluvial atau tepat di bantaran sungai sempit yang diapit tebing curam. Dalam kacamata perencanaan wilayah, ini adalah hazard zone atau zona bahaya. Namun, desakan ekonomi dan pertumbuhan populasi memaksa masyarakat menempati ruang-ruang yang seharusnya “diberikan” kepada air. Kita seolah lupa bahwa sungai memiliki “memori”-nya sendiri. Area yang pernah dilewati banjir besar ratusan tahun lalu, suatu saat pasti akan dilewati kembali. Tragedi ini diperparah oleh waktu kejadian (timing). Banjir bandang yang datang di sepertiga malam terakhir—saat tingkat kesiapsiagaan manusia berada di titik terendah—meniadakan kesempatan untuk evakuasi. Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) berbasis komunitas tampaknya belum berjalan efektif. Teriakan peringatan kalah cepat dengan laju lumpur.

Refleksi untuk Mitigasi
Dari Kampus Unima di Tondano, Sulawesi Utara, kami melihat kejadian di Sumatera ini sebagai cermin retak bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia, tak terkecuali Sulawesi. Pola bencananya serupa: topografi curam, curah hujan tinggi, dan degradasi lahan yang masif. Penanganan pascabencana tidak boleh berhenti pada distribusi mi instan atau selimut. Kita membutuhkan “Revolusi Tata Ruang”.  Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tidak boleh lagi hanya menjadi dokumen administratif di atas meja birokrat, melainkan harus menjadi panglima dalam pembangunan.  Pertama, audit lingkungan menyeluruh terhadap kondisi hulu daerah aliran sungai (DAS) di Sumatera harus segera dilakukan. Penegakan hukum terhadap perusakan kawasan lindung tidak bisa ditawar lagi. Kedua, konsep Living with Risk harus diubah menjadi Risk Reduction. Relokasi permukiman dari zona bahaya tinggi memang tidak populer dan mahal, namun jauh lebih murah dibandingkan harga 700 nyawa manusia. Pemerintah daerah harus berani mengambil kebijakan tidak populer demi keselamatan publik jangka panjang.

Sumatera hari ini sedang menangis. Air mata dan darah yang tumpah di sana adalah pesan tegas dari alam: jika kita terus memaksa mengubah bentang alam tanpa mengindahkan kaidah geografi, maka kita sedang menyiapkan kuburan massal bagi anak cucu kita sendiri. Saatnya kita berhenti menyalahkan hujan, dan mulai memperbaiki cara kita memperlakukan bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *